Semangat nasionalisme sudah lama tumbuh di kalangan guru semenjak lahirnya kesadaran berorganisasi, kesadaran perjuangan nasional, kesadaran untuk menuntut persamaan hak dengan pihak belanda.
Usaha perjuangan nasib dan posisi guru berjalan terus. Hasilnya antara lain adalah kepala HIS yang dahulu selalu dipegang oleh orang Belanda, satu persatu pindah ke tangan bangsa Indonesia. Perjuangan ini akhirnya memuncak pada kesadaran dan cita–cita kemerdekaan bukan sekedar nasib belaka.
Pada tahun 1032 nama PGHB diganti dengan PGI (Persatuan Guru Indonesia). Pergantian nama "Hindia Belanda" dengan "Indonesia". Dalam nama organisasi ini mengejutkan Belanda, karena nama Indonesia termasuk yang paling tidak desenangi oleh penjajah Belanda karena mencerminkan tumbuhnya semangat Nasionalisme.
Perang dunia 2 pecah pada tahun 1939. Setahun kemudian, negeri Belanda diduduki tentara Jepang. Pada tahun 1941 semua guru laki-laki Belanda ditugaskan menjadi milisi, untuk mengatasi kekurangan guru di Indonesia. Pada zaman kedudukan Jepang keadaan berubah segala organisasi dilarang, sekolah ditutup. Segala kegiatan pendidikan dan politik membeku. Barulah menjelang Jepang takluk kepada tentara sekutu, sekolah dibuka kembali.
B. Lahirnya PGRI Tanggal 25 November 1945
Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai efek sangat besar terhadap seluruh pejuang kemerdekaan, pendiri Republik ini dan juga para guru pada kurun waktu pasca tahun 1945.
Semangat proklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidikan Bangsa pada tanggal 24-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Putri (SGP) Surakarta, Jawa Tengah. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wahana persatuan dan kesatuan segenap guru di seluruh Indonesia. Pendiri PGRI adalah Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng Soegianto, Soemidi Adisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono. Mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tujuan:
a. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
b. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengaajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
c. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
PGRI lahir sebagai "anak sulung" dari proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 yang memiliki sifat dan semangat yang sama dengan "ibu Kandungnya",yaitu semangat persatuan dan kesatuan, pengorbanan dan kepahlawanan untuk menentang penjajah. PGRI merupakan organisasi pelopor dan pejuang karena itu para pendiri PGRI mengangkat semangat persatuan dan kesatuan, tujuannya yaitu fungsi anggota PGRI sebagai pendidik bangsa bermaksud mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia dari segi pendidikan.
C. PGRI pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949)
PGRI adalah "Kedaulatan Rakyat" dengan tujuan seperti disebutkan terdahulu. Dilihat dari tujuannya, sangat jelas bahwa cita–cita PGRI sejalan dengan cita–cita bangsa Indonesia secara keseluruhan. Para guru di Indonesia menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, memacu kecerdasan bangsa dan membela serta memperjangkan kesejahteraan anggotanya.
1. Kongres II PGRI di Surakarta 21-23 November 1946
Melalui kongres ini PGRI mengajukan tuntutan kepada pemerintah:
1. Sistem pendidikan selekasnya didasarkan pada kepentingan nasional.
2. Gaji guru supaya tidak dihentikan.
3. Diadakan undang-undang pokok pendidikan dan undang-undang pokok pemburuhan.
2. Kongres III PGRI di Madiun 27-29 Februari 1948
Kongres yang diadakan dalam keadaan darurat ini memutuskan bahwa untuk meningkatkan efektivitas organisasi, ditempuh jalan dengan memekarkan cabang-cabang yang tadinya keresidenan memiliki satu cabang menjadi cabang lebih kecil tetapi dengan jumlah sedikitnya 100 orang diharapkan yang lebih kecil itu dapat lebih aktif.
Cita-cita besar PGRI tercapai baik dibidang pendidikan maupun dibidang pemburuhan. Nama PGRI tidak asing lagi, termasuk diluar negeri. Dibuktikan adanya undangan dari NEA, juga undangan dari WCOTP untuk menghadiri kongkres II yang diadakan oada bulan Juli 1984 di London.
D. PGRI pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
1. Kongres IV PGRI di Yogyakarta 26-28 Februari 1950
Presiden RI memuji PGRI yang menurut pendapatnya tidak bisa lain dari pada pencerminan semangat juang para guru sebagai pendidik rakyat dan bangsa. Oleh karena itu, Presiden RI menganjurkan untuk mempertahankan nama, bentuk, maksud, tujuan, dan cita–cita PGRI sesuai dengan kehendak dan tekad para pendirinya.
Kongres IV PGRI dihadiri beberapa utusan dari luar-luar "daerah Renville", yaitu: Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, bahkan dari Sumatra, yaitu: Sigli, Bukit tinggi, dan Lampung. Pengurus pusat SGI di Bandung datang pada kongres IV di Yogyakarta untuk secara resmi menggabungkan diri kedalam PGRI dengan menyerahkan 38 cabang. Delegasi SGI terdiri atas, Jaman Soejanaprawira, Djoesar Kartasubrata, M.Husein, Wirasoepena, Omo Adimiharja, Sukarna Prawira, dan Anwar Sanusi. RIS diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Kembalinya kongkres IV PB PGRI berada di Jakarta segera berkantor di ruangan SMA Negeri 1 Jakarta di Jln. Budi Utomo. Pada akhir February 1950 sebanyak 30 cabang SGI diseluruh Negara menyatakan memisahkan diri dari SGI kemudian masuk PGRI. Yaman Soejanaprawira (KPI Jawatan PP dan K), M.Husein dkk berjasa sekali.
Pada tahun 1950 pemerintah RI mengeluarkan PP No. 16/1950, sangat menguntungkan para guru, namun pelaksanaan penyesuaian gaji ternyata disana-sini berjalan serat. Kegembiraan menyambut keluarnya PP 16/1950 segera berbalik menjadi kekesalan dan keresahan, terutama dikalangan guru di Jawa Barat. Guru-guru diJawa Barat mengancam untuk mengadakan pemogokan, menurut rencana dimulai pada 12 Juni 1950 pukul 10.00 pagi. Usaha ini berhasil, akhirnya disetujui pemerintah. Hal ini mengokohkan wibawa PGRI dibuktikan dengan lancarnya PP No. 32/1950 tentang penghargaan kepada pelajar pejuang.
2. Kongres V PGRI di Bandung 19-24 Desember 1950
Acara pun lebih bervariasi karena dalam kongres ini bicarakan suatu masalah yang prinsipil dan faundamental bagi kehidupan dan perkembangan PGRI selanhutnya, yaitu asas organisasi ini : apakah akan memilih sosialisme keadilan sosial atau pancasila akhirnya pancasila menjadi asas organisasi.
Kongres V merupakan "Kongres Persatuan". Kongres dihadiri oleh perwakilan luar negeri yang ada di Jakarta. Rapat diadakan di pusat kebudayaan Jln. Naripan, kongres ini membicarakan suatu masalah yang prinsipil dan fundamental bagi kehidupan dan perkembangan PGRI yaitu asas organisasi akankah memilih sosialisme keadilan sosial ataukah pancasila.
Akhirnya, pancasila diterima sebagai asas organisasi. Sejak kongres V mulai nyata daerah dibentuk beserta susunan pengurusnya konferda mulai dilaksanakan. Mulanya konferda dilaksanakan di Cirebon, Solo, Jember pada Maret 1951, selanjutnya konferda meluas ke pulau lainnya, tanggal 27 Februari 1952 di Makassar dan 20 maret 1952 di Banjarmasin. Hasil nyata dari konsolidasi ialah masuknya 47 cabang di Sulawesi dan Kalimantan kedalam barisan PGRI.
3. Kongres VI PGRI di Malang 24-30 November 1952
Kongres menyepakati beberapa keputusan panting. Dalam bidang organisasi, menetapakan asas PGRI ialah keadilan social dan dasarnya ialah demokrasi, PGRI tetap dalam GSBI. Dalam bidang pemburuhan memperjuangkan kendaraan bagi pemilik sekolah, intruktur penjas, dan pendidikan masyarakat. Dalam bidang pendidikan:
1) System pengajaran diselaraskan dengan kebutuhan Negara pada masa pembangunan.
2) KPKPKB dihapuskan pada akhir tahun pelajaran.
3) KPKB ditiadakan diubah menjadi SR 6 th
4) Kursus B-I/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya.
5) Diadakan Hari Pendidikan Nasional.
4. Kongres VII PGRI di Semarang 24 November s/d 1 Desember 1954
Kongres ini dihadiri 639 orang utusan. Pelaksanan rapat bertempat di aula SMA B Candi Semarang. Untuk pertama kalinya kongres PGRI dihadiri oleh tamu-tamu dari luar negeri. Maria Marchant wakil FISE di Paris, Marcelino Bautista dari PPTA (Filipina) wakil WOTOP, Fan Ming, Chang Chao, dan Shen Pei Yung dari SBP RRC, dan Jung Singh dari organisasi guru Malaysia. Dibicarakan pula masalah pendidikan agama.
Hasil kongres ini antara lain:
Bidang Umum : Pernyataan mengenai Irian Barat, pernyataan mengenai korupsi, resolusi mengenai desentralisasi sekolah, resolusi mengenai pemakaian keuangan oleh kementrian PP dan K, dan resolusi mengenai penyempurnaan cara kerja kementrian PP dan K.
Bidang Pendidikan : Resolusi mengenai anggaran belanja PP dan K yang harus mencapai 25% dari seluruh anggaran belanja Negara, resolusi mengenai UU sekolah rakyat dan UU kewajiban belanja, resolusimengenai film, gambar, tektur, serta radio dan pembentukan dewan bahasa nasional.
Bidang Pemburuhan : UU pokok kepegawaian, peleksanan peraturan gaji, pegawai baru, tunjangan khusus bagi pegawai yang tugas di daerah yang tidak aman, ongkos perjalanan cuti besar, Guru SR dinyatakan sebagai pegawai negri tetap, dan penyelesaian kepegawaian.
Bidang Organisasi : Pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisasi "Non-Vaksentral".
5. Kongres VIII PGRI di Bandung 1956
Kongres dihadiri hampir seluruh cabang PGRI di Indonesia. Suasana kongres mulanya meriah,tetapi waktu diadakan pemilihan ketua umum keadaan menjadi tegang. Pihak Soebandri menambah kartu palsu. Sehingga pemilihan terpaksa dibatalkan. Otak pemalsuan Hermanu Adi seorang tokoh PKI Jatim, yang menjabat ketua II PGRI. Walaupun M.E Subiadinata dihalangi secara curang akhirnya ia terpilih menjadi ketua Umum mengantikan Sudjono. Ketua II PGRI digantikan M.Husein.
Jumlah anggota PGRI meningkat setelah diadakan konsolidasi dengan cara:
1) Kunjungan kecabang-cabang
2) Korespondensi PB PGRI dengan cabang lebih diintensifikasi
3) Tindakan-tindakan disiplin dilakukan kepada cabang yang tidak disiplin diberikan peringatan seperlunya
4) Dilakukan pembekuan terhadap pengurus cabang PGRI Palembang karena tindakan indisipliner terhadap komisariat daerah
Keterlibatan PGRI dalam symposium BMN Denpasar Bali (Juli 1957) mendapat penghargaan dan perhatian masyarakat.
Pokok-pokok bahasan:
a) Pendidikan sebagai pewaris nilai budaya
b) Perlu adanya Indonesianisasi
c) Aspek kebudayaan agar dilegalisasikan dalam UUD
Masalah cukup serius mendapatkan perhatian diantaranya tentang:
1) Dimasukannya pencak silat dalam pendidikan jasmani
2) Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah dalam dunia pendidikan dan masyarakat
3) Uang alat/perlengkapan sekolah dan pakaian belajar
E. PGRI pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada kongres IX di Surabaya bulan oktober /November 1959, Soebandri dkk. melancarkan politik adu domba diantara para kongres, terutama pada waktu pemilihan Ketua Umum. Usaha tersebut tidak berhasil, ME. Sugiadinata terpilih lagi sebagai Ketua Umum BP PGRI.
1. Lahirnya PGRI Non-Yaksentral/PKI
Periode tahun 1962-1965 merupakan episode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan pada periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu bukan demi kepentingan guru atau peropesi guru, melainkan karena ambisi politik dari luar dengan dalih "machsovorming en machsaanwending" (pembentukan kekuatan dan panggunaan kekuatan).
Ternyata goldfried termasuk salah seorang penandatanganan "surat selebaran fitnah", sehingga timbul protes dari siding pleno, sehingga Goldfied akhirnya dikeluarkan dari panitia.
2. Pemecatan Massal Pejabat Departemen P&K (1964)
Pidato inangrasi Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama Majelis Pendidikan Nasional (Mapenas) dalam kependudukannya sebagai salah seorang wakil ketua, menyarankan agar PancawarDhana diisi dengan moral "panca cinta", sistem pendidikan pancawardhana dilandasi dengan prinsip-prinsip:
1) Perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air,moral nasional / internasional/ke agamaan ,
2) Perkembangan kecerdasan,
3) Perkembangan emosional – artistrik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin
4) Perkembangan keprigelan atau kekerajinan tangan dan,
5) Perkembangan jasmani.
Moral panca cinta meliputi:
a. Cinta nusa dan bangsa
b. Cinta ilmu pengetahuan
c. Cinta kerja dan rakyat yang bekerja
d. Cinta perdmaian dn persahabatan antar bangsa-bangsa
e. Cinta orang tua
Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan di kalangan pendidik. Di lingkungan Departemen PP&K, polemik itu makin meruncing ketika dalam Rapat Dinas tanggal 23 Juli 1964 Menteri PP&K, Prof. Dr. Prijono (1957-1966) memancing kembali suasana polemic tersebut. Akibatnya, Pembantu mentri, Tartib Prawirodiharjo, meninggalkan rapat karena dituduh mengkhianati Mentrinya.
Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat berkenaan dengan isi Moral Pendidikan Pancawardhana, akhirnya Presiden membantuk sendiri panitia dengan nama "Panitia Negara Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana". Panitia ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang "Pemecatan Massal", ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah.
3. PGRI Pasca-Peristiwa G30 S/PKI
Periode th. 1966-1972 merupakan masa perjuangan untuk turut menegakkan Orde Baru, penataan kembali organisasi, menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan nasional yang baru memerlukan pemimpin yang memiliki dedikasi yang tinggi, kemampuan manajerial yang mantap, dan pengalaman yang mendukang. Dipenuhi dengan jalan kaderisasi, pelaksanaan kaderisasi yang dimulai pada th. 1957 di Jakarta dilanjutkan kembali mulai Juli 1973 di Bandung, Yogyakarta, dan Pandaan, Jawa Timur.
PGRI mencoba untuk turut memprakarsai dan menghimpun organisasi-organisasi pegawai negeri dakam bentuk RKS. Selanjutnya PGRI memprakarsai pendirian PSPN dengan ketua Umumnya M.E. Subiadinata. Terakhir, pada th. 1967, PGRI memprakarsai berdirinya MPBI. Sebagai pengembangan dari MPBI lahirlah FBSI.
Disambut gembira oleh para buruh kelahiran FBSI, sementara PGRI tidak mempunyai tempat dalam federasi karena banyak perbedaan yang mendasar:
1) FBSI beranggotakan unsur buruh murni
2) Anggota FBSI harus buruh swasta
3) FBSI berprinsip "trade unionisme"
4) FBSI berada di bawah pembinaan Departemen Tenaga Kerja.
4. Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI
PGRI tidak luput dari ancaman tersebut. Pada kongres IX PGRI di Surabaya (oktober 1959), infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar terasa, dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta (November 1962).
Kiranya perinsip "siapa kawan siapa lawan" berlaku pula dalam tubuh PGRI, "kawan" adalah semua golongan pancasilaisanti PKI yang Dalam Pendidikan mengamankan Pancasila, dan "Lawan" adalah PKI yang berusaha memnaksakan pendidikan. "pancacinta" dan "pancatinggi". Akan tetapi kekuatan pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi tantangan tersebut.
Setelah PKI diwakili oleh guru berorentasi ideology komunis tak mampu lagi melakukan taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan dari PGRI.
Untuk menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan di antara guru, presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk majelis pendidikan nasional yang menerbitkan penpres no.19 thn 1965 tentang pokok pendidikan pancasila akan tetapi pempres tersebut tidak berhasil mempersatukan organisasi ini.
Sungguh perpecahan tersebut merupakan peristiwa yang sangat pahit bagi PGRI.
F. PGRI sejak lahirnya orde baru
1. Kesatuan aksi guru Indonesia KAGI
Peristiwa G30S/PKI merupakan puncak dari apa sebelumnya berlangsung dalam tubuh PGRI, yaitu perebutan pengaruh anti PKI dan pro PKI, infiltrasi dan fitnah Pro PKI berdirinya PGRI non-vaksentral dll.
Bersama para pelajar, mahasiswa, sarjana, dll, para guru anggota PGRI turun ke jalan dengan meneriakan tritura (tri tuntunan rakyat) yakni : "bubarkan PKI, ritul 100 menteri, dan turunkan harga-harga!". Mereka membentuk kesatuan aksi-aksi misalnya KAMI, KASI, sedangkan para guru-guru membentuk KAGI pada tanggal 2 februari 1966.
Perlu ditambahkan bahwa KAGI pada mulanya terbentuk dijakarta raya dan jawa barat, kemudian berturut-turut terbentuk KAGI di wilayah lainnya.
Tugas Utama KAGI adalah
a. Membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari unsur-unsur PKI dan orde lama.
b. menyatukan semua guru di dalam organisasi guru yaitu PGRI.
c. memperjuangkan agar PGRI menjadi organisasi guru yang tidah hanya bersifat unotalistik tetapi juga independen dan non partai politik.
Bukti keberhasilan kekuatan orde baru dalam kongres ini terlihat dari hasil-hasil kongres di bidang unsur atau politik atau PB PGRI masa bakti XI adapun hasil-hasil kongres XI adalah
• Menjunjung tinggi HAM
• PGRI diwakili secara resmi dalam DPRGR atau MPRS
• Frontnasional di bubarkan
• PGRI ditegaskan kembali sebagai organisasi yang bersifat UNITARISTIK,INDEPENDEN dan NON partai politik
• DLL.
Selanjutnya,hasil XI PGRI di bidang organisasi :
• INTENSIFIKASI penerangan tentang kegiatan organisasi melalui pers,Radio,TV dan Majalah Suara Guru.
• Pendidikan kader organisasi secara teratur dan terencana
• PGRI menjadi anggota WCOTP
• Dll.
2. Konsulidasi organisasi pada awal orde baru
Menarik juga untuk disimak kembali seri tulisan harian kompas tahun 1967 yang berjudul PORAK PORANDANYA KERETA PGRI DI JAWA TENGAH, tulisan ini merupakan "serangan" kepada PB PGRI masa perserikatan (kongres XI).
Pembentukan kaki di Jawa Timur dan Jawa Tengah, antara lain untuk menyelamatkan PGRI dari kemelut politik pada saat itu hasilnya adalah konferda PGRI di ke 2 daerah tersebut berhasil memilih pengurus daerah PGRI yang baru.
Pada tahun 1969 atas perdesakan nasib guru yang dibentuk PGRI, pemerintah setuju untuk mencairkan tunjangan kelebihan mengajar bagi guru-guru SD di seluruh Indonesia
Hubungan PGRI dengan organisasi guru mulai di rintis kembali. Pada bulan juli 1966 secara resmi diterima menjadi anggota WCOTP dalam kongres guru seDunia Seoul di Korea selatan. Setelah itu, PGRI diundang untuk mengikuti trade union leader course di negeri belanda selama 4 bulan, kursus di adakan 2 angkatan :
Angkatan 1 pada tahun 1969 dan angkatan 2 1970.
Guru Indonesia dengan itikad dan kesadaran yang murni dengan segala keberanian, keluhuran jiwa dan kasih sayang senantiasa menunaikan darma baktinya kepada Negara, tanah air dan bangsa Indonesia dalam budi pekerti cinta, rasa, karsa dan karya generasi bangsa menjadi manusia Pancasila yang memiliki moral, pengetahuan, keterampilan dan akhlak yang tinggi.
Untuk melaksanakan keputusan kongres BP PGRI membentuk YPLP-PGRI dengan akta notaries Moh.Ali No. 21 tgl. 31 maret 1980 yang berlaku sejak tgl. 1 Januari 1980. Yaitu melakukan pembinaan, pengelolaan, dan penggembangan lembaga pendidikan PGRI di seluruh Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada PB PGRI
Hikmah dan manfaat dari yang diambil dari ketetapan PGRI sebagai organisasi profesi adalah :
Apabila kita dengan sadar dan sengaja menyediakan waktu untuk meneliti kembali secara cermat gagasan-gagasan, pola tindakan dan prestasi PGRI sejak awal berdirinya sampai sekarang maka kita temukan kembali bahwa pada hakikatnya PGRI adalah sebuah organisasi propesi pendidik dan pada umumnya dan para guru pada khususnya.
Berdasarkan pengamatan bertahun-tahun,tampak jelas bahwa PGRI seperti organisasi yang lainnya mempunyai pengalaman yang penting dalam rangka mensukseskan strategi yang bersifat kuantitatif, dalam arti menggalang masa secara politis, terutama waktu menjelang pemilu.
Masa depan menuntut semakin tingginya kualitas dari pada kuantitas (jumlah anggota).
PGRI sangat berpengalaman dalam melayani para anggotanya yang sebagian besar guru SD; sementara peningkatan kualitas propesi diperlukan oleh para guru pada semua jenis dan jenjang pendidikan untuk itu, PGRI dituntut untuk lebih akrab dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para guru sekolah menengah, dan bahkan para dosen di perguruan tinggi.
baru mau ikut lomba desain logo ni, referensi bagus